Embun masih menempel di daun kelor di halaman pesantren, seolah sisa doa malam yang belum sempat terhapus oleh cahaya fajar. Udara subuh beraroma tanah basah, berpadu dengan uap kopi hitam yang baru dituangkan dari ceret besi di dapur santri. Dari serambi utama, suara Kyai mengalun rendah, membacakan syarah Fathul Qarib dengan tempo yang khidmat dan penuh kasih. Setiap huruf yang keluar dari lisannya jatuh seperti biji hikmah ke ladang hati para santri yang duduk bersila rapi, kitab kuning terbuka di pangkuan mereka. Huruf-huruf Arab gundul itu hidup, mengalir dari dada ke dada, dari adab ke ilmu, dan dari ilmu ke amal.
Di pondok pesantren salaf, waktu berjalan dengan ritme yang berbeda. Pagi tidak sekadar pergantian dari malam menjadi siang, melainkan awal perjalanan batin yang berulang setiap hari: bangun, berwudhu, mengaji, dan berkhidmah. Di bawah cahaya lampu minyak, santri-santri saling bersahutan membaca ta‘bir nahwu, berdiskusi dengan metode hiwar, menelisik makna tersembunyi di balik kalimat fiqhiyyah yang dibacakan dalam wetonan, lalu menunduk penuh adab saat tiba gilirannya sorogan di hadapan sang guru.
Kiai tidak sekadar pengajar, melainkan lentera yang menerangi jalan.
Santri bukan sekadar pelajar, tetapi penjaga nyala.
Dan pesantren bukan sekadar lembaga, melainkan rahim peradaban tempat akal diasah dengan dzikir, dan hati disucikan dengan ilmu.
Namun di balik pagar pesantren yang sederhana itu, dunia lain tengah bergerak dengan kecepatan cahaya. Para “santri urban” berlomba mengutip ayat di layar kaca dan menimbang makna agama dengan algoritma. Zikir mereka viral, tapi tanpa wangi tasbih. Kopiah berganti jadi merek, sorban berubah jadi aksesori; agama ditukar jadi gengsi, dakwah jadi industri.
Sementara di serambi ini, seorang santri muda masih terbata membaca kalimat fa‘il dan maf‘ul, dengan suara bergetar tapi mata berbinar. Ia tak tahu apa itu endorsement atau viewers, tapi ia tahu bagaimana menundukkan pandangan di hadapan gurunya. Ia mungkin tak populer, tapi di langit, namanya disebut lebih lantang dari yang trending di bumi.
Pagi di pesantren bukan sekadar waktu; ia adalah ruang suci di mana ilmu ditanam dengan air keikhlasan. Di sinilah agama dijaga dari riuh pasar spiritual yang menjual simbol lebih mahal dari makna. Dan mungkin, di tengah segala hiruk-pikuk modernitas, pesantrenlah satu-satunya tempat di mana dunia masih bersujud dalam diam.
Simbol-simbol pesantren kini banyak dikomodifikasi, dibungkus manis dengan retorika spiritualitas, lalu dijual di pasar media sosial. “Kesetiaan,” kata Gus Dur, “bukan hanya diucapkan, tapi dijalani dalam setiap langkah kehidupan.” Namun kini kesetiaan itu mudah dijadikan slogan, bukan laku. Diumandangkan di panggung, tetapi hilang di dapur hati.
Di tengah hiruk-pikuk santri digital yang haus pengakuan, masih ada mereka yang tetap memilih jalan sunyi. Kesetiaannya diuji bukan di panggung, melainkan di lantai semen yang dingin, saat kantuk melawan semangat, dan doa menjadi satu-satunya bahasa yang tersisa. Ia tidak memburu makna agama untuk karier, tetapi untuk keberanian memahami diri.
Pesantren adalah tempat di mana fiqh mengajarkan disiplin lahir, tasawuf menuntun kelapangan batin, dan keduanya bertemu dalam diri santri yang belajar untuk ikhlas tanpa pamrih. Di sinilah kejujuran diuji, ketika adab lebih utama dari kata, dan ilmu menjadi jalan menuju ketaatan, bukan ketenaran.
Namun dunia di luar sana terus memanggil. Ada yang tergoda menjadi “ustadz seleb”, ada yang menjual identitas kesantrian seperti menjual merek dagang: jubah baru, tetapi tanpa ruh lama. Dan di antara itu semua, pesantren tetap berdiri dalam diam, seperti bumi yang terus berputar tanpa perlu diberitahu arah kiblatnya.
Ketika matahari pagi mulai menembus celah genting, seorang santri menutup kitabnya perlahan, mencium sampulnya dengan takzim. Di wajahnya terpancar damai, meski perutnya belum tentu kenyang. Ia tahu bahwa kesetiaan bukan sekadar kata, melainkan jalan panjang penuh debu, yang kadang sunyi, tetapi pasti menuju cahaya.
Mungkin hanya di tempat seperti pesantren inilah manusia masih belajar arti paling dalam dari kalimat yang kerap dilupakan zaman: bahwa kesetiaan adalah bentuk tertinggi dari cinta, dan cinta sejati selalu menuntut pengorbanan yang diam.
Dan seperti dawuh dalam Ta‘līm al-Muta‘allim, bab Fī Niyyah:
قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِغَيْرِ اللهِ فَهُوَ مَكْرُوهٌ عَلَيْهِ، وَمَنْ طَلَبَهُ لِلهِ فَهُوَ مَقْبُولٌ مَرْضِيٌّ
Sebagian hukama berkata: Barang siapa menuntut ilmu bukan karena Allah, maka ia dibenci karenanya. Dan barang siapa menuntut ilmu karena Allah, maka ia diterima dan diridhai.
Kesetiaan sejati tidak mencari sorot mata manusia, sebab cukup jika Allah yang menatapnya dengan ridha.
Memaknai Inspirasi KH. Abdurrahman
Teruntuk Allahuyarham Gus Dur, Alfatihah
Ahmad Taufiq


