Menu

Mode Gelap

Opini · 18 Feb 2020 11:47 WIB · · Artikel ini telah dibaca 16 kali

Ketika Agama Menghadapi Tantangan Sains dan Teknologi


Ketika Agama Menghadapi Tantangan Sains dan Teknologi Perbesar

Bagikan :

Di beberapa negara maju, proporsi anggota masyarakat yang memeluk keyakinan agama semakin berkurang. Mereka lebih memercayai temuan-temuan dari sains dan teknologi sebagai pemberi pedoman kehidupan mereka sehari-hari. Agama semakin tersingkir perannya dalam memandu dan mengarahkan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya.

Apakah masyarakat di negara-negara Muslim akan mengalami hal yang sama? Ini tentu sebuah pertanyaan yang perlu direnungkan dalam-dalam. Sejauh ini belum terlihat tren seperti itu. Bahkan di Indonesia terdapat kecenderungannya peningkatan ghirah berislam di kalangan kelas menengah dan terdidik. Agama dan ilmu pengetahuan sama-sama memiliki porsi penting dalam kehidupan sehari-hari Muslim Indonesia.
Hubungan agama dan ilmu pengetahuan tak selalu seiring sejalan. Terdapat beberapa model hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Pertama, agama dan ilmu pengetahuan saling mendukung. Sejumlah ayat Al-Qur’an secara jelas menjelaskan sebuah fenomena ilmu pengetahuan salah satunya proses penciptaan manusia yang digambarkan jauh sebelum ilmu pengetahuan mampu menjelaskannya secara empiris. Tetapi di sisi lain, terdapat perbedaan pendapat mengenai  manusia pertama di bumi ini terkait dengan turunnya Nabi Adam dan teori evolusi yang dikembangkan oleh Darwin.
Di Eropa, hubungan agama dan pengetahuan sempat mengalami masa-masa suram ketika agama memaksakan kebenarannya. Ilmuwan yang menemukan pengetahuan baru yang berbeda dengan tafsir para pemuka agama mengalami penindasan. Akhirnya hal ini memunculkan gerakan perlawanan berupa sekularisme yang memisahkan agama dengan kehidupan publik. Eropa menjadi maju dengan terbebaskannya para ilmuwan mengembangkan pengetahuannya.
Agama sifatnya transendental sedangkan ilmu pengetahuan bersifat empiris rasional yang dapat diuji kebenarannya. Ayat-ayat Al-Qur’an bersifat tetap, tetapi tafsirnya dalam mengalami kontekstualisasi sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan bersifat relative. Sebuah teori masih dianggap benar jika belum ada teori baru yang membuktikan teori lama itu salah. Dalam beragama kita beriman tentang keberadaan tuhan tanpa mempertanyakan bukti-bukti empiris karena pancaindra manusia tidak mampu menjangkau hal-hal yang sifatnya adikodrati. Akal manusia terlalu terbatas untuk memahami kompeksitas jagad raya ini. Tapi bagi kelompok agnostic atau atheis, maka kebenaran ditunjukkan oleh fakta empiris dan rasionalitas. Kelompok ini menguasai perkembangan dan perubahan dunia.
Agama dihadapkan pada tantangan tentang kemampuan manusia “menciptakan” hal-hal baru yang dulu hanya bisa dilakukan oleh Tuhan. Kloning sejumlah binatang sudah berhasil dilakukan. Dan dalam beberapa tahun ke depan, hasilnya akan semakin sempurna. Beberapa ilmuwan mungkin masih memandang penciptaan manusia sebagai wilayah tak tersentuh, tetapi beberapa orang memiliki kecenderungan untuk melanggar hukum. Mungkin untuk tujuan popularitas personal atau bagian dari kompetisi sebuah perusahaan atau negara. Dan jika ada satu yang berhasil menciptakan manusia super yang menjadikannya unggul, maka pihak lainnya akan berlomba-lomba mengarahkan sumberdayanya untuk melakukan riset guna meraih keunggulan. Adakah batas bagi ilmuwan untuk menciptakan sesuatu yang dinilainya bukan lagi ranah manusia? Ini pertanyaan sulit.
Perlombaan untuk meraih inovasi terbaru merupakan upaya meraih keunggulan baik bagi individu, korporasi, atau bahkan negara. Korporasi didirikan untuk meraih tujuan pencarian laba. Hal ini menyebabkan para eksekutifnya harus melakukan berbagai inovasi, yang tentu saja belum tentu sesuai dengan norma-norma agama atau masyarakat. Para pemimpin negara dipilih oleh rakyatnya untuk memperjuangkan kepentingan nasional. Agama bisa saja menjadi panduan dalam menentukan tujuan negara, tetapi bisa saja tujuan tersebut diarahkan pada hal-hal yang sifatnya sangat materialistik. Ketika tujuan besarnya materialistik, maka nilai-nilai agama bukan menjadi norma.
Terdapat beberapa pendekatan yang dilakukan di negara-negara Muslim. Pertama, pendekatan sekularisme dengan mengacu kepada keberhasilan Barat. Tapi upaya tersebut ternyata tidak berhasil. Turki dapat menjadi satu contoh. Beberapa yang mencoba menggunakan resep yang sama gagal karena adanya pertentangan yang kuat karena adanya kelompok yang menolak pemisahan agama dari ruang publik ini.
Selain pendekatan sekularisasi yang ditawarkan, kelompok lain menawarkan alternatif dengan mencoba kembali mencontoh perilaku para salafushalih, yaitu generasi pertama pemeluk Islam yang terbukti mampu membawa Islam dalam kejayaannya. Mereka berusaha melakukan berbagai teladan perilaku Rasulullah dan para sahabatnya berasarkan riwayat hadits atau atsar.  Tapi bisakan perilaku seperti itu mampu mengalahkan perkembangan pengetahuan dan teknologi? Tampaknya pendekatan seperti itu juga kurang tepat. Tampaknya perlu pendekatan berbeda dengan mencoba memberi porsi tertentu sebagai ruang keagamaan dan porsi lain dalam ranah ilmu pengetahuan.
Sebagai umat Islam, kita meyakini agama memiliki keabadian dan akan memandu masyarakat, tetapi keyakinan saja tidak cukup. Bahwa dunia terus berubah yang menyebabkan para ahli agama harus terus mampu melakukan tafsir ulang yang kontekstual sesuai dengan zamannya. Pengalaman era kegelapan ketika agama memaksakan kebenarannya telah menyebabkan kerugian bagi semua pihak. Keyakinan bumi datar, misalnya, dengan menggunakan pendekatan agama yang sempat ramai baru-baru ini padahal sains telah membuktikan bahwa bumi bulat menjadikan banyak orang mengernyitkan dahi.
Al-Qur’an memberi panduan dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi tidak dalam tataran yang sangat teknis. Dan hal itu sangat tepat karena membuka ruang tafsir yang konteksual sesuai dengan zaman yang ada.  Kehidupan yang kita jalani sekarang ini dengan segala kemudahan teknologinya tak terbayangkan pada era beberapa abad sebelumnya. Mungkin saja beberapa abad yang akan datang, kehidupan sudah sedemikian jauh dengan imajinasi kita saat ini. Pertanyaannya, sejauh mana agama mampu memandu masyarakat? Ini tentu tergantung pada kemampuan para tokoh agama yang mampu menunjukkan bahwa agama memberi pencerahan sebagaimana ketika pertama kali muncul. Inilah yang perlu kita renungkan pada momen baru Hijriah 1441 ini.
(Achmad Mukafi Niam)
Sumber:  https://www.nu.or.id/post/read/110473/ketika-agama-menghadapi-tantangan-sains-dan-teknologi
Bagikan :
badge-check

Penulis

Baca Lainnya

40 Tahun Lakpesdam NU: Antara Turats dan Menggerakkan Ijtihad Sosial

9 April 2025 - 08:37 WIB

AI Image Generate

NU dan Ramadhan: Islam yang Ramah dan Dekat dengan Kehidupan

3 March 2025 - 18:39 WIB

NU dalam Kiprah Sosial & Politik Menurut Masyarakat: Membaca Hasil Survey Kompas

31 January 2025 - 06:40 WIB

Menjelang Musyker, NU Care-LAZISNU Kabupaten Magelang berkomitmen untuk Transparansi Pelaporan Dana

16 January 2025 - 05:52 WIB

Jelang Harlah NU ke-102, Kekuatan Doa ( 1 )

8 January 2025 - 15:20 WIB

Istiqomah Ngaji dan Khidmah, Tapi Tetap Harus Bekerja/Bisnis: Catatan Dawuh Mbah Kyai Warson

3 January 2025 - 23:05 WIB

Trending di Opini