Selamat Hari Lahir (Harlah) ke-40 Lakpesdam NU!
Di bawah kepemimpinan Ketua Umum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), Lakpesdam NU semakin menegaskan posisinya sebagai think tank strategis yang mengawal gerakan Nahdlatul Ulama (NU) baik di tingkat nasional maupun global.
Sebagai institusi riset dan perencanaan, Lakpesdam tidak hanya berfokus pada penguatan tradisi keagamaan (ubudiyah), tetapi juga merancang program berbasis bukti (evidence-based) untuk menjawab tantangan peradaban kontemporer seperti transformasi digital, ketahanan finansial, dan problem kebangsaan. Pendekatan ini menjadikan NU sebagai organisasi yang adaptif, inklusif, dan relevan dengan dinamika zaman.
Lakpesdam berperan sebagai mitra kritis PBNU dalam merumuskan kebijakan berbasis data. Melalui riset mendalam, lembaga ini mengarahkan tema-tema besar Bahtsul Masail pada isu aktual seperti kesenjangan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial. Contoh konkret adalah keterlibatan NU dalam merespons pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata (PIK 2) di Kabupaten Tangerang. PCNU setempat, melalui LBH NU, melakukan pendampingan dan riset lapangan terhadap masyarakat terdampak. Hasilnya, PBNU merekomendasikan peninjauan ulang kebijakan PIK 2, menekankan prinsip keadilan dalam penetapan harga lahan melalui kesepakatan bersama, serta pemenuhan hak-hak warga. Proses ini mencerminkan metodologi NU yang hati-hati, berbasis fakta, dan menjauhi tindakan reaktif maupun provokatif.
Politik Kebangsaan NU: Solusi Moderat, Bukan Konfrontasi
Politik NU selalu berorientasi pada harmoni kebangsaan (siyasah waṭaniyyah), yakni mencari solusi yang win-win untuk meredakan gejolak tanpa mengorbankan prinsip keadilan. NU menolak gaya politik intimidatif dan provokatif. Tuduhan bahwa NU “tidak peka terhadap masalah sosial” bertolak belakang dengan fakta sejarah: melalui Lakpesdam dan lembaga otonom lainnya, NU secara sistematis menjawab tantangan seperti penggusuran, radikalisme, dan ketimpangan pendidikan dengan pendekatan partisipatif dan berbasis ilmu. Bagi NU, keberpihakan terhadap rakyat tidak harus dibuktikan lewat retorika keras, tetapi melalui kerja nyata yang ilmiah dan bijaksana.
Bayt al-Hikmah dan Warisan Intelektual Islam
Pada abad ke-9, dunia Islam melahirkan Bayt al-Hikmah di Baghdad, simbol kejayaan intelektual Islam. Lembaga ini menjadi pusat kajian lintas ilmu—agama, filsafat, astronomi, kedokteran, dan matematika. Para ulama seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina bukan hanya penerjemah, tetapi juga inovator. Spirit yang mereka bawa adalah integrasi antara wahyu dan akal, antara turâts dan realitas, antara ibadah dan ilmu.
Lakpesdam NU, dalam konteks abad ke-2 NU, sangat relevan untuk mengambil inspirasi ini. Lakpesdam bisa menjadi Bayt al-Hikmah kontemporer, yang tidak hanya menjaga nalar Aswaja dalam bentuk klasik, tetapi juga mengaktifkannya dalam transformasi sosial dan kebijakan publik. Riset yang dilakukan bukan hanya untuk tahu, tetapi untuk tindakan yang membebaskan dan memajukan.
Untuk menjaga keberlanjutan dan relevansi peran ke depan, Lakpesdam NU harus melangkah dengan akar yang kuat dan arah yang terang, berpijak pada jalan thariqah Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah. Sebagai lembaga yang lahir dari rahim pesantren dan tradisi keilmuan Islam klasik, Lakpesdam tidak bisa sekadar menjadi institusi teknokratik. Ia harus tetap menjadi penjaga warisan keilmuan, turats dengan membumikan riset sosial yang berpijak pada ushul fiqh, maqashid syari’ah, serta nilai-nilai tasawuf akhlaqi. Tajdid sosial yang ditawarkan Lakpesdam pun hendaknya dilakukan dengan pendekatan tadarruj (bertahap) dan penuh hikmah, bukan secara reaktif ataupun pragmatis.
Dalam menjawab berbagai isu kebangsaan, paradigma moderasi (wasathiyyah) NU harus menjadi napas dalam setiap inisiatif. NU tidak terjebak dalam ekstremitas ideologi kanan atau kiri, tetapi konsisten menjaga khidmah kepada umat dan bangsa dengan mengedepankan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Di titik inilah, Lakpesdam memiliki potensi besar untuk mentradisikan pemikiran NU menjadi sebuah mazhab sosial-keislaman yang sistematis dan aplikatif. Sebagaimana Imam al-Ghazali pernah merumuskan sintesis antara syariah dan tasawuf dalam konteks individual dan masyarakat, demikian pula Lakpesdam dapat merumuskan “paradigma Aswaja” sebagai kerangka pemikiran dalam perumusan kebijakan sosial yang berbasis nilai.
Lebih jauh lagi, Lakpesdam harus mampu menjadi teladan dalam integrasi antara kerja sosial dan spiritualitas. Nilai-nilai seperti ikhlas, tawadhu‘, mujahadah, dan tsiqah-keyakinan pada perjuangan kolektif adalah DNA dari thariqah an-Nahdliyah. Program-program yang dijalankan tidak semata didorong oleh logika proyek, tetapi harus dimaknai sebagai bentuk ibadah ijtima’i, yaitu ibadah sosial yang lahir dari ketulusan, keikhlasan, dan kecintaan terhadap umat. Dengan demikian, arah idealitas Lakpesdam ke depan adalah menjadi poros yang menyeimbangkan antara tradisi dan transformasi, antara dzikir dan pikir, antara khidmah dan ijtihad.
Refleksi dan Harapan: Dari Tradisi ke Inovasi
Jika Lakpesdam adalah manusia, maka usia 40 adalah masa kematangan sekaligus titik balik. Bukan sekadar fase bertahan, tapi saatnya tumbuh progresif, dinamis, dan memberi warna pada zaman. Amanat abad ke-2 NU adalah amanat perubahan struktural dan kultural. Lakpesdam harus menjadi kompas peradaban, sekaligus pelindung warisan para masyayikh.
Kita hidup di era perubahan yang cepat, kompleks, dan tak terduga. Advokasi dan pemberdayaan harus bergeser dari sekadar akses ke arah kemandirian dan keberdayaan yang berkelanjutan. Pendekatan progresif bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Bersama generasi muda, Lakpesdam bisa menjadi kekuatan transformasi: tidak hanya menyuarakan perubahan, tapi menciptakannya.
Terima kasih kepada seluruh muasis, penggerak, dan mitra yang telah menghidupkanlembaga ini dari masa ke masa. Kepada para pendahulu, baik yang masih membersamai maupun yang telah wafat, kami kirimkan doa terbaik dan penghormatan tertinggi. Alfatihah.
Dengan kerja tim dan semangat khidmah, Lakpesdam PBNU harus lebih dari sekadar lembaga advokasi. Ia harus menjadi simbol harapan, pusat kebijakan, rumah ilmu, dan cahaya pencerahan di tengah masyarakat, dan bukannya terlalu muluk, namun juga tidak mungkin, bahwa sebagaimana Bayt al-Hikmah dahulu menjadi mercusuar dunia Islam, maka Lakpesdam NU hari ini harus menjadi pelita zaman di tengah gelapnya krisis sosial dan krisis makna. Ia tak hanya meneliti untuk tahu, tapi mengkaji untuk bertindak, membela yang lemah, dan membangkitkan kesadaran umat.
Ahmad Taufiq – Pengurus LAKPESDAM PCNU Kab. Magelang